Masyarakat
Indonesia tidak asing lagi dengan kartun Naruto, Doraemon, dan One Piece. Dulu
di era 90-an sampai awal tahun 2000 kartun Jepang/ anime banyak ditayangkan di
televisi Indonesia. Sehingga sudah tak asing lagi bagi masyarakat menonton
kartun yang tayang tiap hari Minggu. Kebiasaan menonton anime ini menjadi hobi
baru dan memunculkan komunitas anime yang makin bertambah di seluruh Indonesia.
Komunitas pecinta anime ini biasanya saling berkumpul dan berbagi tentang anime
favoritnya. Munculnya anime sebagai budaya pop juga memunculkan cosplay.
Cosplay
merupakan fenomena sosial yang sudah ada sejak lama. Cosplay dalam bahasa
Inggris merupakan singkatan dari costume
(kostum) dan play(bermain). Sementara istilah Jepang adalah wasei- eigo. Cosplay merupakan hobi orang dalam meniru sesuatu
seperti meniru tokoh idola, anime, manga (komik Jepang), permainan video ,
karakter dalam film (The Japan Foundation, 2007 : 27).
Cosplayer merupakan istilah orang yang memakai kostum. Karena kesukaannya
terhadap anime atau karakter komik tertentu mereka membuat diri mereka semirip
mungkin dengan karakter kesukaannya. Komunitas cosplay juga semakin berkembang,
biasanya jika ada event Jejepangan cosplay selalu hadir untuk memeriahkan
acara.
Penggemar anime dan cosplay rela
merogoh kocek dalam demi memuaskan hobi mereka. Action figur merupakan display
mainan yang dikeluarkan oleh pihak resmi kreator anime yang biasanya dijual
terbatas juga akan dibeli. Begitu juga dengan perlengkapan cosplay seperti wig
(rambut palsu), kostum anime beserta perlengkapan lain. Menjadi cosplayer butuh
biaya tinggi karena biasanya bahan - bahan yang dijual tergolong mahal. Media
sosial biasanya menjadi tempat untuk para cosplay menunjukkan diri dan
kreatifitas mereka. Menjadi seorang cosplay bisa dijadikan hobi dan pekerjaan.
Umumnya cosplayer profesional bisanya mendapat dana dari sponsor atau jadi
model cosplayer tetapi ada juga cosplayer untuk sekedar hobi dan kesenangan.
Jika dihubungkan dengan teori
sosiologi cosplayer lebih ke arah teori distingsi yang merupakan kritik sosial
Bourdieu. Dalam teori ini Bourdieu memberikan pendapatnya tentang kelas sosial
dalam arena. Distinction merupakan kata dari bahasa Inggris dimana terdapat suatu
sistem yang membentuk kesenangan dalam struktur kelas sosial. Contoh cosplay dari
strategi kepuasan kelas sosial tertentu dalam arena. Dalam logika Marxis ada
beberapa tingkatan dalam kelas sosial yaitu kelas dominan, kelas borjuis kecil/
menengah, dan kelas terdominasi/ populer. Media juga berperan dan biasanya
dipengaruhi oleh kelas dominan dan borjuis kecil.
Kelas dominan merupakan kelas
atas dalam kelas sosial dan memiliki 4 kapital yaitu kapital sosial, ekonomi,
budaya, dan simbolik(Bourdieu,
1985: 724). Kelas dominan ini juga biasanya
menjadi tren. Media menyorot kelas ini sebagai role model hingga dikenal di seluruh kelas sosial. Biasanya kelas
ini memilih cosplay sebagai hobi, kesenangan , dan kecintaannya terhadap
karakter anime. Kelas dominan membuat proses distingsi sehingga agen tersebut
tetap berada pada puncaknya.
Cosplayer dalam kelompok dominan
biasanya menggunakan kostum dan make up serta
membutuhkan waktu lama untuk berdandan supaya totalitas dan semirip mungkin
dengan karakter yang diinginkannya. Media sosial menjadi wadah untuk membagikan
foto –foto cosplayer dan menjadi tren bagi pecinta anime maupun tokoh animasi
lain. Kelas Borjuis kecil biasanya mencoba meniru kelas dominan karena mereka
ingin diakui bahwa mereka bisa seperti kaum dominan. Dalam praktiknya kaum
borjuis kecil tidak bisa mempertahankan kelasnya karena mereka hanya mencolok
dalam beberapa kapital misalnya saja kelas menengah mampu membeli perlengkapan
cosplay tapi dengan harga terjangkau karena keterbatasan ekonomi yang masuk
kapital ekonomi. Atau mereka berusaha untuk menjadi cosplayer demi diakui oleh
komunitas mereka yang termasuk dalam kapital simbolik.
Kelas populer biasanya paling
lemah dalam 4 kapital. Biasanya kelas ini menyukai anime dan cosplay tetapi
mereka hanya sebagai penonton tidak seperti kelas menengah yang mengikuti kelas
dominan menjadi cosplay. Karena kelas populer sadar bahwa menjadi cosplayer
membutuhkan biaya tinggi, rumit dalam pemakaian kostum, dan make up yang tebal
tidak nyaman dipakai. Biasanya dalam arena mereka cukup puas untuk menonton.
Contohnya dalam acara Jejepangan mereka meluangkan waktunya untuk sekedar menonton
lomba cosplay dan berfoto- foto. Kelas ini sudah puas dengan hanya datang dan
bertemu idola cosplay mereka.
Arena merupakan ruang terjadinya
konflik antar agen. Agen – agen sosial ini mempertahankan dirinya dengan
membedakan diri dengan agen sosial lain. Cosplay yang sudah terkenal biasanya
akan diundang dalam acara Jejepangan di berbagai negara. Media sosial seperti
instagram dan line merupakan upaya mereka untuk mendapatkan fans. Kapital
simboliknya bahwa mereka diakui dan menjadi terkenal dari cosplay. Untuk
membedakan antar kelas sosial para cosplayer ini membedakan diri mereka dengan
selera. Selera adalah disposisi atau serangkaian cara hidup kebiasaan.
Selera ini sifatnya individualis,
otoritas , netral , dan semakin rumit sesuatu yang dipelajari maupun diakses
maka akan semakin terlihat perbedaan yang mencolok bagi kelas dominan. Praktik
untuk membedakan selera dengan 3 konsumsi yaitu makanan, fashion, dan budaya.
Menurut Bourdieu selera menjadi arena pertarungan simbolik sebagai disposisi
untuk membedakan dan mengapresiasi oleh habitus kelas. Dalam cosplay modal ekonomi seperti mampu membeli kostum , make up,
dan barang mahal lain dan kualitasnya asli.
Modal budaya contohnya cosplayer
dari kelas dominan rata – rata berpendidikan hingga kuliah dan mereka menyukai
cosplay karena hobi. Kapital sosial para cosplayer ini umumnya menggunakan
media sosial supaya dikenal banyak orang dan bergabung dalam komunitas cosplay
supaya dikenal. Kapital simbolik para cosplayer mempunyai tujuan tertentu
misalnya mereka ingin diakui bahwa cosplayer yang bisa meniru tokoh anime yang
sulit dicosplay hingga banyak penggemar. Sementara kelas borjuis kecil biasanya
menonjolkan 2 kapital seperti kapital sosial dan simbolik.
Teori distingsi ini menghasilkan
reproduksi budaya dan reproduksi sosial. Reproduksi budaya didapat dari
konsumsi antar kelas yang berbeda dalam arena. Semisal habitus yang dibentuk
dari pengalaman , nilai menjadi praktik tindakan kita. Misal kelas dominan
cosplayer yang sudah internasional mau diundang dalam acara Jepang bergengsi
seperti acara tahunan AFAID di Jakarta. Atau acara Jejepangan lain yang
membutuhkan tiket mahal untuk masuk dan hanya beberapa orang yang mendapatkan
tiket. Sementara reproduksi sosial yaitu mempertahankan posisi dalam arena
dengan kapital ekonomi dan simbolik contohnya kecintaan keluarga terhadap anime
dan cosplay membuat orang tua mendandani anaknya seperti tokoh kartun. Hal ini
membuat tren baru yaitu cosplay yang diperankan oleh anak kecil.
Penulis : Dwi Latifatul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar