Minggu, 01 Oktober 2017

Tren Cosplay dalam Strategi Kepuasan Arena (Distingsi)

               Masyarakat Indonesia tidak asing lagi dengan kartun Naruto, Doraemon, dan One Piece. Dulu di era 90-an sampai awal tahun 2000 kartun Jepang/ anime banyak ditayangkan di televisi Indonesia. Sehingga sudah tak asing lagi bagi masyarakat menonton kartun yang tayang tiap hari Minggu. Kebiasaan menonton anime ini menjadi hobi baru dan memunculkan komunitas anime yang makin bertambah di seluruh Indonesia. Komunitas pecinta anime ini biasanya saling berkumpul dan berbagi tentang anime favoritnya. Munculnya anime sebagai budaya pop juga memunculkan cosplay.

               Cosplay merupakan fenomena sosial yang sudah ada sejak lama. Cosplay dalam bahasa Inggris merupakan singkatan dari costume (kostum)  dan play(bermain). Sementara istilah Jepang adalah wasei- eigo. Cosplay merupakan hobi orang dalam meniru sesuatu seperti meniru tokoh idola, anime, manga (komik Jepang), permainan video , karakter dalam film (The Japan Foundation, 2007 : 27). Cosplayer merupakan istilah orang yang memakai kostum. Karena kesukaannya terhadap anime atau karakter komik tertentu mereka membuat diri mereka semirip mungkin dengan karakter kesukaannya. Komunitas cosplay juga semakin berkembang, biasanya jika ada event Jejepangan cosplay selalu hadir untuk memeriahkan acara.

               Penggemar anime dan cosplay rela merogoh kocek dalam demi memuaskan hobi mereka. Action figur merupakan display mainan yang dikeluarkan oleh pihak resmi kreator anime yang biasanya dijual terbatas juga akan dibeli. Begitu juga dengan perlengkapan cosplay seperti wig (rambut palsu), kostum anime beserta perlengkapan lain. Menjadi cosplayer butuh biaya tinggi karena biasanya bahan - bahan yang dijual tergolong mahal. Media sosial biasanya menjadi tempat untuk para cosplay menunjukkan diri dan kreatifitas mereka. Menjadi seorang cosplay bisa dijadikan hobi dan pekerjaan. Umumnya cosplayer profesional bisanya mendapat dana dari sponsor atau jadi model cosplayer tetapi ada juga cosplayer untuk sekedar hobi dan kesenangan.

               Jika dihubungkan dengan teori sosiologi cosplayer lebih ke arah teori distingsi yang merupakan kritik sosial Bourdieu. Dalam teori ini Bourdieu memberikan pendapatnya tentang kelas sosial dalam arena. Distinction merupakan kata dari bahasa Inggris dimana terdapat suatu sistem yang membentuk kesenangan dalam struktur kelas sosial. Contoh cosplay dari strategi kepuasan kelas sosial tertentu dalam arena. Dalam logika Marxis ada beberapa tingkatan dalam kelas sosial yaitu kelas dominan, kelas borjuis kecil/ menengah, dan kelas terdominasi/ populer. Media juga berperan dan biasanya dipengaruhi oleh kelas dominan dan borjuis kecil.

               Kelas dominan merupakan kelas atas dalam kelas sosial dan memiliki 4 kapital yaitu kapital sosial, ekonomi, budaya, dan simbolik(Bourdieu, 1985: 724). Kelas dominan ini juga biasanya menjadi tren. Media menyorot kelas ini sebagai role model hingga dikenal di seluruh kelas sosial. Biasanya kelas ini memilih cosplay sebagai hobi, kesenangan , dan kecintaannya terhadap karakter anime. Kelas dominan membuat proses distingsi sehingga agen tersebut tetap berada pada puncaknya.

               Cosplayer dalam kelompok dominan biasanya menggunakan kostum dan make up  serta membutuhkan waktu lama untuk berdandan supaya totalitas dan semirip mungkin dengan karakter yang diinginkannya. Media sosial menjadi wadah untuk membagikan foto –foto cosplayer dan menjadi tren bagi pecinta anime maupun tokoh animasi lain. Kelas Borjuis kecil biasanya mencoba meniru kelas dominan karena mereka ingin diakui bahwa mereka bisa seperti kaum dominan. Dalam praktiknya kaum borjuis kecil tidak bisa mempertahankan kelasnya karena mereka hanya mencolok dalam beberapa kapital misalnya saja kelas menengah mampu membeli perlengkapan cosplay tapi dengan harga terjangkau karena keterbatasan ekonomi yang masuk kapital ekonomi. Atau mereka berusaha untuk menjadi cosplayer demi diakui oleh komunitas mereka yang termasuk dalam kapital simbolik.

               Kelas populer biasanya paling lemah dalam 4 kapital. Biasanya kelas ini menyukai anime dan cosplay tetapi mereka hanya sebagai penonton tidak seperti kelas menengah yang mengikuti kelas dominan menjadi cosplay. Karena kelas populer sadar bahwa menjadi cosplayer membutuhkan biaya tinggi, rumit dalam pemakaian kostum, dan make up yang tebal tidak nyaman dipakai. Biasanya dalam arena mereka cukup puas untuk menonton. Contohnya dalam acara Jejepangan mereka meluangkan waktunya untuk sekedar menonton lomba cosplay dan berfoto- foto. Kelas ini sudah puas dengan hanya datang dan bertemu idola cosplay mereka.

               Arena merupakan ruang terjadinya konflik antar agen. Agen – agen sosial ini mempertahankan dirinya dengan membedakan diri dengan agen sosial lain. Cosplay yang sudah terkenal biasanya akan diundang dalam acara Jejepangan di berbagai negara. Media sosial seperti instagram dan line merupakan upaya mereka untuk mendapatkan fans. Kapital simboliknya bahwa mereka diakui dan menjadi terkenal dari cosplay. Untuk membedakan antar kelas sosial para cosplayer ini membedakan diri mereka dengan selera. Selera adalah disposisi atau serangkaian cara hidup kebiasaan.

               Selera ini sifatnya individualis, otoritas , netral , dan semakin rumit sesuatu yang dipelajari maupun diakses maka akan semakin terlihat perbedaan yang mencolok bagi kelas dominan. Praktik untuk membedakan selera dengan 3 konsumsi yaitu makanan, fashion, dan budaya. Menurut Bourdieu selera menjadi arena pertarungan simbolik sebagai disposisi untuk membedakan dan mengapresiasi oleh habitus kelas.  Dalam cosplay modal ekonomi seperti mampu membeli kostum , make up, dan barang mahal lain dan kualitasnya asli.

               Modal budaya contohnya cosplayer dari kelas dominan rata – rata berpendidikan hingga kuliah dan mereka menyukai cosplay karena hobi. Kapital sosial para cosplayer ini umumnya menggunakan media sosial supaya dikenal banyak orang dan bergabung dalam komunitas cosplay supaya dikenal. Kapital simbolik para cosplayer mempunyai tujuan tertentu misalnya mereka ingin diakui bahwa cosplayer yang bisa meniru tokoh anime yang sulit dicosplay hingga banyak penggemar. Sementara kelas borjuis kecil biasanya menonjolkan 2 kapital seperti kapital sosial dan simbolik.

               Teori distingsi ini menghasilkan reproduksi budaya dan reproduksi sosial. Reproduksi budaya didapat dari konsumsi antar kelas yang berbeda dalam arena. Semisal habitus yang dibentuk dari pengalaman , nilai menjadi praktik tindakan kita. Misal kelas dominan cosplayer yang sudah internasional mau diundang dalam acara Jepang bergengsi seperti acara tahunan AFAID di Jakarta. Atau acara Jejepangan lain yang membutuhkan tiket mahal untuk masuk dan hanya beberapa orang yang mendapatkan tiket. Sementara reproduksi sosial yaitu mempertahankan posisi dalam arena dengan kapital ekonomi dan simbolik contohnya kecintaan keluarga terhadap anime dan cosplay membuat orang tua mendandani anaknya seperti tokoh kartun. Hal ini membuat tren baru yaitu cosplay yang diperankan oleh anak kecil. 

Penulis : Dwi Latifatul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar