Perhatikan teman yang duduk di
kiri dan kananmu. Dengan postur menunduk dan pandangan khusyuk mereka bergeming
dengan keadaan sekitarnya. Fokusnya cuma satu; ponsel yang ada di hadapannya.
Padahal butuh waktu lama sampai akhirnya kalian sepakat untuk ngumpul dan
nongkrong bareng. Iya sih akhirnya kalian ketemu setelah sekian lama. Tapi
pertemuan yang seperti itu jelas bukan yang ada dalam pikiranmu. Nongkrong
sama teman-teman itu isinya ya ngobrol atau ketawa-tawa, bukan malah sibuk
dengan gawai masing-masing.
Oke, oke, kamu mungkin akan
memaklumi kelakuan mereka tersebut kalau memang tujuannya benar. Ya urusan
kerjaan, misalnya. Namun, kelakuan ngeselin teman-temanmu itu landasan cuma
karena mainan media sosial doang!! Hal ini jelas nggak masuk dalam
pikiranmu.
Fenomena ini ternyata nggak cuma
terjadi di lingkungan sekitarmu doang. Menurut data per Januari 2017 dari We Are Social, ada
106 juta pengguna aktif media sosial di seluruh Indonesia. Data tersebut
mengalami kenaikan sebesar 34% dari data per Januari 2016. Artinya,
kenalan-kenalanmu, teman-teman, kolega-kolega, hingga orang yang nggak kamu
kenal pun makin banyak yang mainan Facebook, Instagram, Twitter dan
sebangsanya.
Sebenarnya, nggak apa-apa sih
banyak orang yang main medsos. Toh nggak merugikan kamu juga kan. Sayangnya,
kemudian muncul masalah ketika perilakunya bermedia sosial tidak dijaga. Coba
saja tengok betapa ramainya media sosial akhir-akhir ini. Baik itu tentang isu
yang berujung hoax atau akibatnya yang berbentuk komentar-komentar
kasar yang muncul dari jari-jari keyboard warrior di media
sosial.
Ah, sudahlah. Isu itu sudah sering dibahas. Akan
sangat membosankan jika membahas isu itu lagi. Toh sudah banyak media yang
membahasnya. Sampai gumoh malahan baca-baca soal hoax dan
komentar nggak ngotak dari orang-orang di media sosial. Daripada isu eksternal
seperti itu, ada isu-isu lain yang lebih asyique kita bahas.
Sebenarnya,
kenapa sih makin banyak pemuda-pemudi kita yang jadi hobi mainan media sosial?
Selain karena memang aktif
di media sosial termasuk dalam salah satu syarat agar layak disebut
muda-mudi kekinian, media sosial juga berperan sebagai tempat mencari
perhatian. Kamu pasti pernah punya teman yang upload foto di Instagram
dengan caption “lagi jelek”. Padahal mah kondisi mereka sedang jauh
dari definisi kata “jelek”! Nah yang lebih ngeselin lagi, kamu juga pasti
pernah nemu pemuda-pemudi yang upload foto di Instagram dengan caption
“delete soon”. Eh tapi ketika fotonya dapat like banyak, nggak jadi
dihapus. Lah? Lha terus tujuannya ngasi caption gitu apa coba?
Kalau satu dua kali gitu sih paling
masih maklum ya (atau malah enggak?), namun hal ini sudah sering terjadi.
Bahkan bagi sebagian pemuda-pemudi masa kini, respons dari media sosial
merupakan salah satu faktor penting yang patut dipertimbangkan sebelum mereka
memutuskan untuk melakukan sesuatu. Apalagi sekarang udah ada fitur vote
di Instagram. Duh, mau makan malam apa nggak aja sekarang kudu pake vote
sebelum memutuskan. Padahal mah kalo laper ya tinggal makan dan kalau
nggak ya udah tidur aja! Kan KZL ya gitu aja pake vote segala!
Krisis
eksistensial pemuda-pemudi Indonesia tersebut diawali dari keraguan akan
kemampuan diri sendiri. Karena itu mereka butuh pengakuan dari orang lain di
media sosial untuk menguatkan mereka. Ya karena sekarang semuanya sudah
serba digital, alih-alih minta perhatian dengan berbuat baik ke orang-orang
terdekat, yang ada malah mereka mencari perhatiannya via media sosial.
Nah masalah
yang lebih pelik muncul ketika media sosial kemudian digunakan sebagai tempat
pelarian dari dunia nyata
Faktanya, makin hari makin banyak
pemuda-pemudi yang lebih mencintai dunia maya dibanding dunia nyata. Bahkan
media sosial kini dijadikan ajang menarik hati pasangan. Caranya, ya tinggal upload
saja foto paling menarik ke Instagram atau Facebook. Yang pakai Tinder juga
nggak sedikit lho.
Hal tersebut terjadi biasanya
karena 3 hal. Pertama, pemuda-pemudi minder dengan diri
sendiri. Ngerasa kurang menarik di dunia nyata atau merasa dirinya nggak pede
aja. Kedua, biasanya mereka memiliki masalah dengan interaksi
sosial. Artinya jika ketemu dan ngobrol langsung, biasanya akan kebingungan
sendiri. Nah yang ketiga, biasanya sih karena nyari orang yang
tertarik dengan mereka di media sosial itu lebih gampang daripada harus repot
ketemu dan ngobrol dulu di dunia nyata.
Oke, kalau pas sosok yang ditemui
itu sosok yang benar dan baik sih oke-oke saja, Lha tapi kalau yang ditemui
adalah sosok kurang ajar bin bajingan? Khawatirnya nanti kasus kids zaman
now yang “minta dispensasi menikah” seperti yang terjadi di Madiun dan
beberapa daerah lain di Indonesia akan semakin meningkat tiap tahunnya.
Menurut pihak Pengadilan Agama
Madiun, hal tersebut dipicu oleh kemajuan teknologi, utamanya media sosial. Ya
nggak bisa disalahkan teknologinya juga sih, tepi tetap saja. Kalau
kenyataannya seperti itu, gimana nggak khawatir coba? Sudah banyak lho kasus
serupa. Di mana awalnya cuma iseng kenalan di media sosial, lantas ngerasa
cocok, deket, diajak ketemuan mau, ena-ena, hamil, dan masa depan
mereka pun kabur! Lha kan ya nggak enak toh kalau kayak gini.
Penulis : Arif Purnomo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar